Penulis CERITA terkenal

  • Penulis Cerita Terkenal www.facebook.com/RinsoIndonesia
    Semua ibu bisa jadi seorang penulis Hanya di Rinso Cerita Dibalik Noda
Iklan oleh Google

Jumat, 21 September 2012

Tidurlah dengan posisi perut kananmu

Artikel bagus....kalau tidak suka abaikan saja....

Kalau mau tidur, coba lakukan sebuah sunah yang ringan berikut ini. Tidurlah dengan posisi perut kananmu ada di bawah (menghadap kanan) kemudian letakkan tanganmu di pipi kemudian berdoalah, “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”. Demikian sunah Nabi kita tercinta shallallahu ‘alaihi wa sallam
@almohannam Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al Muhanna, anggota Institut Ilmu Kehakiman Saudi Arabia (bagian dari Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud), dan salah seorang da’i di Kementerian Urusan Islam, KSA

Ternyata banyak sunnah Rasul dan larangan Rasul yang terbukti secara ilmiah, beberapa diantaranya :

1.Tidur dengan Posisi Miring ke sebalah Kanan

Dari al-Barra` bin Azib, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan”

“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

a. Mengistirahatkan otak sebelah kiri
Secara anatomis, otak manusia terbagi menjadi 2 bagian kanan dan kiri. Bagian kanan adalah otak yang mempersarafi organ tubuh sebelah kiri dan sebaliknya. Umumnya ummat muslim menggunakan organ tubuh bagian kanan sebagai anggota tubuh yang dominan dalam beraktifitas seperti makan, memegang dan lainnya. Dengan tidur pada posisi sebelah kanan, maka otak bagian kiri yang mempersarafi segala aktiftas organ tubuh bagian kanan akan terhindar dari bahaya yang timbul akibat sirkulasi yang melambat saat tidur/diam. Bahaya tersebut meliputi pengendapan bekuan darah, lemak , asam sisa oksidasi, dan peningkatan kecepatan atherosclerosis atau penyempitan pembuluh darah. Sehingga jika seseorang beresiko terkena stroke, maka yang beresiko adalah otak bagian kanan, dengan akibat kelumpuhan pada sebelah kiri (bagian yang tidak dominan).

b. Mengurangi beban jantung.
Posisi tidur kesebelah kanan yang rata memungkinkan cairan tubuh ( darah )terdistribusi merata dan terkonsentrasi di sebelah kanan ( bawah ). Hal ini akan menyebabkan beban aliran darah yang masuk dan keluar jantung lebih rendah. Dampak posisi ini adalah denyut jantung menjadi lebih lambat, tekanan darah juga akan menurun. Kondisi ini akan membantu kualitas tidur.

c. Mengistirahatkan lambung.
Lambung manusia berbentuk seperti tabung berbentuk koma dengan ujung katup keluaran menuju usus menghadap kearah kanan bawah. Jika seorang tidur kesebelah kiri maka proses pengeluaran chime (makanan yang telah dicerna oleh lambung dan bercampur asam lambung) akan sedikit terganggu, hal ini akan memperlambat proses pengosongan lambung. Hambatan ini pada akhirnya akan meningkatkan akumulasi asam yang akan menyebabkan erosi dinding lambung. Posisi ini juga akan menyebabkan cairan usus yang bersifat basa bias masuk balik menuju lambung dengan akibat erosi dinding lambung dekat pylorus.

d. Meningkatkan pengosongan kandung empedu, pankreas.
Adanya aliran chime yang lancar akan menyebabkan keluaran cairan empedu juga meningkat, hal ini akan mencegah pembentukan batu kandung empedu. Keluaran getah pancreas juga akan meningkat dengan posisi mirin ke kanan.

e. Meningkatkan waktu penyerapan zat gizi.
Saat tidur pergerakan usus menigkat. Dengan posisi sebelah kanan, maka perjalanan makanan yang telah tercerna dan siap di serap akan menjadi lebih lama, hal ini disebabkan posisi usus halus hingga usus besar ada dibawah. Waktu yang lama selamat tidur memungkinkan penyerapan bias optimal.

f. Merangsang buang air besar (BAB)
Dengan mtidur miring ke sebelah kanan , proses pengisian usus besar sigmoid ( sebelum anus ) akan lebih cepat penuh, jika sudah penuh akan merangsang gerak usus besar diikuti relaksasi dari otot anus sehingga mudah buang air Besar.

g. Mengisitirahatkan kaki kiri
Pada orang dengan pergerakan kanan, secara ergonomis guna menyeimbangkan posisi saat beraktifitas cenderung menggunakan kaki kiri sebagai pusat pembebanan. Sehingga kaki kiri biasanya cenderung lebih merasa pegal dari kanan, apalgi kaki posisi paling bawah dimana aliran darah balik cenderung lebih lambat. Jika tidur miring kanan , maka pengosongan vena kaki kiri akan lebih cepat sehingga rasa pegal lebih cepat hilang. Dari uraian diatras tampak banyak manfaat tidur dengan posisi miring. Mudah-mudahan uraian tersebut dapat membawa manfaat bagi umat dalam mengamalkan salah satu sunnah nabi.

Sumber : Kitab Shohih Al Bukhori, Kitab Shohih Muslim

Minggu, 26 Agustus 2012

ACARA HALAL bil HALAL di rumah Sdr. FATHKUR GKB GRESIK

ACARA HALAL BIL HALAL di rumah Sdr. Fathkur GKB GRESIK
Tgl. 26 Agustus 2012
 
 foto atas keluarga besar PRABAN
 foto atas keluarga besar RUNGKUT
foto atas keluarga besar SAWAHAN

Beberapa FOTO keluarga yang HADIR di acara halal bil halal di rumah kel. Sdr. Fathkur GKB Gresik.












Jika ANDA mengenal Anggota Keluarga dijalan ??? Tolong sapalah.........



Selasa, 21 Agustus 2012

Pentingnya SILAHTURRAHMI

MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR

| 0 comments
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).
Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).
FIQIH HADITS (3) : MENYAMBUNG SILATURAHMI MESKIPUN KARIB KERABAT BERLAKU KASAR
Imam Ibnu Manzhur rahimahullah berkata tentang silaturahmi: “Al-Imam Ibnul-Atsir rahimahullaht berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’.” [1]
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu, dan lainnya yang memiliki hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum Muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam).
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus, dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِيْ إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
“Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila diputus”.[2]
Imam al-‘Allamah ar-Raghib al-Asfahani rahimahullah menyatakan bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi.[3]
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah letakkan di ‘Arsy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ، تَقُوْلُ: مَنْ وَصَلَنِيْ وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِيْ قَطَعَهُ اللهُ.
“Rahim (kekerabatan) itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata,”Siapa yang menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah akan memutuskannya”.[4]
Menyambung silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua adalah wajib berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`ân dan as-Sunnah. Sebaliknya, memutus silaturahmi dan durhaka kepada orang tua adalah haram dan termasuk dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman:
” …Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan…” [al-Baqarah/2:27]
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak memutuskannya”.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah dan hari Akhir. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi” [6].
Dengan bersilaturahmi, Allah akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur kita. Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi, Allah akan sempitkan rezekinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya.
Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.
“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahmi”. [7]
Bersilaturahmi dapat dilakukan dengan cara mengunjungi karib kerabat, menanyakan kabarnya, memberikan hadiah, bersedekah kepada mereka yang miskin, menghormati mereka yang berusia lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dan lemah, serta menanyakan terus keadaan mereka, baik dengan cara datang langsung, melalui surat, maupun dengan menghubunginya lewat telepon ataupun short massage service (sms). Bisa juga dilakukan dengan meminta mereka untuk bertamu, menyambut kedatangannya dengan suka cita, memuliakannya, ikut senang bila mereka senang dan ikut sedih bila mereka sedih, mendoakan mereka dengan kebaikan, tidak hasad (dengki) terhadapnya, mendamaikannya bila berselisih, dan bersemangat untuk mengokohkan hubungan di antara mereka. Bisa juga dengan menjenguknya bila sakit, memenuhi undangannya, dan yang paling mulia ialah bersemangat untuk berdakwah dan mengajaknya kepada hidayah, tauhid, dan Sunnah, serta menyuruh mereka melakukan kebaikan dan melarang mereka melakukan dosa dan maksiat.
Hubungan baik ini harus terus berlangsung dan dijaga kepada karib kerabat yang baik dan istiqamah di atas Sunnah. Adapun terhadap karib kerabat yang kafir atau fasik atau pelaku bid’ah, maka menyambung kekerabatan dengan mereka dapat melalui nasihat dan memberikan peringatan, serta berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukannya.[8]
Silaturahmi yang paling utama adalah silaturahmi kepada kedua orang tua. Orang tua adalah kerabat yang paling dekat, yang memiliki jasa yang sangat besar, mereka memberikan kasih dan sayangnya sepanjang hidup mereka. Maka tidak aneh jika hak-hak mereka memiliki tingkat yang besar setelah beribadah kepada Allah. Di dalam Al-Qur`ân terdapat banyak ayat yang memerintahkan kita agar berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul-walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih sayang, dan menjaga nama baik pada saat keduanya masih hidup maupun setelah keduanya meninggal dunia. Birrul-walidain adalah perbuatan baik yang paling baik.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ : اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ: قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ : الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ.
“Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,”Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).” Aku bertanya,”Kemudian apa?” Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya,”Kemudian apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [9]
Selain itu, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang kita berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Sebab, durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang paling besar.
Silaturahmi memiliki sekian banyak manfaat yang sangat besar, diantaranya sebagai berikut.
1. Dengan bersilaturahmi, berarti kita telah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.
2. Dengan bersilaturahmi akan menumbuhkan sikap saling tolong-menolong dan mengetahui keadaan karib kerabat.
3. Dengan bersilaturahmi, Allah akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bersabda:
مَنْ أَ حَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ .
“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi” [10].
4. Dengan bersilaturahmi, kita dapat menyampaikan dakwah, menyampaikan ilmu, menyuruh berbuat baik, dan mencegah berbagai kemungkaran yang mungkin akan terus berlangsunng apabila kita tidak mencegahnya.
5. Silaturahmi sebagai sebab seseorang masuk surga.
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ.
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi” [11].
PENUTUP
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca, dan wasiat Rasulullah ini dapat kita laksanakan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala. Mudah-mudahan shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada kelurga dan para sahabat beliau.
Akhir seruan kami, segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lisânul-‘Arab (XV/318).
[2]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5991), Abu Dawud (no. 1697), dan at-Tirmidzi (no. 1908), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu
[3]. Lihat Mufrâdât al-Fâzhil-Qur`ân, halaman 347.
[4]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5989) dan Muslim (no. 2555), dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Lafazh ini milik Muslim.
[5]. Tafsîr ath-Thabari (I/221).
[6]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6138), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
[7]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5984) dan Muslim (no. 2556), dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Lihat Qathî`atur-Rahim: al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul-‘Ilaj, oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, halaman 21-22.
[9]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim (no. 85), an-Nasâ`i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), dan Ahmad (I/409-410,439, 451).
[10]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Bukhari (no. 5986) dan Muslim (no. 2557 (21)).
[11]. Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1396) dan Muslim (no. 13).
Marâji’:
1. Al-Qur`ânul-Karim dan terjemahannya, terbitan Departemen Agama.
2. al-Adabul-Mufrad.
3. Al-Mu’jamul-Kabîr.
4. An-Nihâyah fî Gharîbil-Hadîts.
5. As-Sunanul-Kubra.
6. As-Sunnah libni Abi ‘Ashim.
7. Al-Washâya al-Mimbariyyah, karya ‘Abdul-‘Azhim bin Badawi al-Khalafi.
8. Hilyatul Auliyâ`.
9. Irwâ`ul Ghalîl fî Takhriji Ahâdîtsi Manâris Sabîl.
10. Lisânul-‘Arab.
11. Mawâridizh Zhamm`ân.
12. Mufrâdât Alfâzhil-Qur`ân.
13. Musnad ‘Abd bin Humaid.
14. Musnad al-Humaidi.
15. Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhaini. Karya Imam al-Hakim an-Naisaburi.
16. Musnad Imam Ahmad.
17. Qathî`atur Rahim; al-Mazhâhir al-Asbâb Subulul ‘Ilâj, oleh Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd.
18. Shahîh al-Bukhari.
19. Shahîh Ibni Hibban.
20. Shahîh Ibni Khuzaimah.
21. Shahîh Muslim.
22. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
23. Sunan Abu Dawud.
24. Sunan an-Nasâ`i.
25. Sunan at-Tirmidzi.
26. Sunan Ibni Majah.
27. Syarah Shahîh Muslim.
28. Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi.
29. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
30. Tafsîr Ibni Katsir, Cet. Darus-Salam, Riyadh.
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2666/slash/0/menyambung-silaturahmi-meskipun-karib-kerabat-berlaku-kasar/

Rabu, 18 Juli 2012

ARTIKEL BAGUS untuk di BACA waktu santai

Bolehnya Makan dan Minum Sambil Berdiri!

2 Komentar
 
 
 
 
 
 
3 Votes

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Dalam masalah ini, sebagian orang bersikap terlalu keras. Demikian sikap kami pula di masa silam. Namun setelah mengkaji dan melihat serta menimbang dalil ternyata dapat disimpulkan bahwa minum dan makan sambil berdiri sah-sah saja, artinya boleh. Karena dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri dan keadaan lain sambil duduk. Intinya, ada kelonggaran dalam hal ini. Tetapi afdholnya dan lebih selamat adalah sambil duduk.

Kami awali pembahasan ini dengan melihat beberapa dalil yang menyebutkan larangan makan dan minum sambil berdiri, setelah itu dalil yang menyebutkan bolehnya. Lalu kita akan melihat bagaimana sikap para ulama dalam memandang dalil-dalil tersebut.
Dalil Larangan
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.” (HR. Muslim no. 2024).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.” Qotadah berkata bahwa mereka kala itu bertanya (pada Anas), “Bagaimana dengan makan (sambil berdiri)?” Anas menjawab, “Itu lebih parah dan lebih jelek.” (HR. Muslim no. 2024). Para ulama menjelaskan, dikatakan makan dengan berdiri lebih jelek karena makan itu membutuhkan waktu yang lebih lama daripada minum.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِىَ فَلْيَسْتَقِئْ
“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” (HR. Muslim no. 2026)
Dalil Pembolehan
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا
“Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَمْشِى وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ
“Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalil ini bahkan menyatakan makan sambil berjalan.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا
“Aku pernah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- minum sambil berdiri, begitu pula pernah dalam keadaan duduk.” (HR. Tirmidzi no. 1883 dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)
Menyikapi Dalil
Al Maziri rahimahullah berkata,
قَالَ الْمَازِرِيّ : اِخْتَلَفَ النَّاس فِي هَذَا ، فَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى الْجَوَاز ، وَكَرِهَهُ قَوْم
“Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh (makan dan minum sambil berdiri). Sebagian lainnya menyatakan makruh (terlarang).” (Lihat Fathul Bari, 10: 82)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
بَلْ الصَّوَاب أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى التَّنْزِيه ، وَشُرْبه قَائِمًا لِبَيَانِ الْجَوَاز ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ نَسْخًا أَوْ غَيْره فَقَدْ غَلِطَ ، فَإِنَّ النَّسْخ لَا يُصَار إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَفِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَيَانِ الْجَوَاز لَا يَكُون فِي حَقّه مَكْرُوهًا أَصْلًا ، فَإِنَّهُ كَانَ يَفْعَل الشَّيْء لِلْبَيَانِ مَرَّة أَوْ مَرَّات ، وَيُوَاظِب عَلَى الْأَفْضَل ، وَالْأَمْر بِالِاسْتِقَاءَةِ مَحْمُول عَلَى الِاسْتِحْبَاب ، فَيُسْتَحَبّ لِمَنْ شَرِبَ قَائِمًا أَنْ يَسْتَقِيء لِهَذَا الْحَدِيث الصَّحِيح الصَّرِيح ، فَإِنَّ الْأَمْر إِذَا تَعَذَّرَ حَمْله عَلَى الْوُجُوب حُمِلَ عَلَى الِاسْتِحْبَاب
“Yang tepat adalah larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenai minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menyatakan beliau minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun yang mengklaim bahwa adanya naskh (penghapusan hukum) atau semacamnya, maka itu keliru. Tidak perlu kita beralih ke naskh (penggabungan dalil) ketika masih memungkinkan untuk menggabungkan dalil yang ada meskipun telah adanya tarikh (diketahui dalil yang dahulu dan belakangan). Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya karena tidak mungkin kita katakan beliau melakukan yang makruh. Beliau kadang melakukan sesuatu sekali atau berulang kali dalam rangka untuk menjelaskan (suatu hukum). Dan kadang beliau merutinkan sesuatu untuk menunjukkan afdholiyah (sesuatu yang lebih utama). Sedangkan dalil yang memerintahkan untuk memuntahkan ketika seseorang minum sambil berdiri menunjukkan perintah istihbab (sunnah, bukan wajib). Artinya, disunnahkan bagi yang minum sambil berdiri untuk memuntahkan yang diminum berdasarkan penunjukkan tegas dari hadits yang shahih ini. Karena jika sesuatu tidak mampu dibawa ke makna wajib, maka dibawa ke makna istihbab (sunnah).”(Fathul Bari, 10: 82)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,
وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي فِيهَا مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه . وَأَمَّا شُرْبه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، فَلَا إِشْكَال وَلَا تَعَارُض
“Yang tepat dalam masalah ini, larangan minum sambil berdiri dibawa ke makna makruh tanzih (bukan haram). Adapun hadits yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri, itu menunjukkan bolehnya. Sehingga tidak ada kerancuan dan pertentangan sama sekali antara dalil-dalil yang ada.” (Syarh Muslim, 13: 195)
Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata,
وَقَدْ أَشْكَلَ عَلَى بَعْضهمْ وَجْه التَّوْفِيق بَيْن هَذِهِ الْأَحَادِيث وَأَوَّلُوا فِيهَا بِمَا لَا جَدْوَى فِي نَقْله ، وَالصَّوَاب فِيهَا أَنَّ النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَأَمَّا شُرْبه قَائِمًا فَبَيَان لِلْجَوَازِ ، وَأَمَّا مَنْ زَعَمَ النَّسْخ أَوْ الضَّعْف فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا . وَكَيْف يُصَار إِلَى النَّسْخ مَعَ إِمْكَان الْجَمْع بَيْنهمَا لَوْ ثَبَتَ التَّارِيخ ، وَأَنَّى لَهُ بِذَلِكَ وَإِلَى الْقَوْل بِالضَّعْفِ مَعَ صِحَّة الْكُلّ .
“Sebagian orang bingung bagaimana cara mengkompromikan dalil-dalil yang ada sampai-sampai mentakwil (menyelewengkan makna) sebagian dalil. Yang tepat, dalil larangan dibawa ke makna makruh tanzih. Sedangkan dalil yang menunjukkan minum sambil berdiri menunjukkan bolehnya. Adapun sebagian orang yang mengklaim adanya penghapusan (naskh) pada dalil atau adanya dalil yang dho’if (lemah), maka itu keliru. Bagaimana mungkin kita katakan adanya naskh (penghapusan) dilihat dari tarikh (adanya dalil yang dahulu dan ada yang belakangan) sedangkan dalil-dalil yang ada masih mungkin dijamak (digabungkan)? Bagaimana kita katakan dalil yang ada itu dho’if (lemah), padahal semua dalil yang menjelaskan hal tersebut shahih? ” (‘Aunul Ma’bud, 10: 131)
Catatan: Sebagian orang mengatakan bahwa minum air zam-zam disunnahkan sambil berdiri berdasarkan riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas. Anggapan ini tidaklah tepat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum zam-zam sambil berdiri menunjukkan kebolehkan saja agar orang tidak menganggapnya terlarang. Jadi yang beliau lakukan bukanlah suatu yang sunnah atau sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana dikatakan Al Bajuri dalam Hasyiyah Asy Syamail,
وإنما شرب (ص) وهو قائم، مع نهيه عنه، لبيان الجواز، ففعله ليس مكروها في حقه، بل واجب، فسقط قول بعضهم إنه يسن الشرب من زمزم قائما اتباعا له
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah minum sambil berdiri. Padahal di sisi lain beliau melarangnya. Perbuatan minum sambil berdiri tadi menunjukkan bolehnya. Jadi yang beliau lakukan bukanlah makruh dari sisi beliau, bahkan bisa jadi wajib (untuk menjelaskan pada umat akan bolehnya). Sehingga gugurlah pendapat sebagian orang yang menyatakan disunnahkan minun air zam-zam sambil berdiri dalam rangka ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Dinukil dari I’anatuth Tholibin, 3: 417)
Amannya: Makan dan Minum Sambil Duduk
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah diajukan pertanyaan, “Sebagian hadits nabawiyah menjelaskan larangan makan dan minum sambil berdiri. Sebagian hadits lain memberikan keluasan untuk makan dan minum sambil berdiri. Apakah ini berarti kita tidak boleh makan dan minum sambil berdiri? Atau kita harus makan dan minum sambil duduk? Hadits mana yang lebih baik untuk diikuti?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Hadits-hadits yang membicarakan masalah ini shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu melarang minum sambil berdiri, dan makan semisal itu. Ada pula hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau minum sambil berdiri. Masalah ini ada kelonggaran dan hadits yang membicarakan itu semua shahih, walhamdulillah. Sedangkan larangan yang ada menunjukkan makruh. Jika seseorang butuh makan sambil berdiri atau minum dengan berdiri, maka tidaklah masalah. Ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil duduk dan berdiri. Jadi sekali lagi jika butuh, maka tidaklah masalah makan dan minum sambil berdiri. Namun jika dilakukan sambil duduk, itu yang lebih utama.
Ada hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri. Ada pula hadits dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang menjelaskan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri dan duduk.
Intinya, masalah ini ada kelonggaran. Namun jika minum dan makan sambil duduk, itu yang lebih baik. Jika minum sambil berdiri tidaklah masalah, begitu pula makan sambil berdiri sah-sah saja. (Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/3415)
Kami dapat simpulkan bahwa minum sambil berdiri itu boleh. Hal ini disamakan dengan makan sebagaimana keterangan dari Syaikh Ibnu Baz di atas. Namun langkah hati-hatinya, kita tetap minum atau makan dalam keadaan duduk dalam rangka kehati-hatian.
Wallahu a’lam bish showwab. Wallahu waliyyut taufiq fil ‘ilmi wal ‘amal.
07 Rajab 1433 H
Ummul Hamam, Riyadh, KSA.
Artikel: Rumaysho.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com

Kamis, 26 April 2012


SABAR : Keajaiban seorang mukmin
.....innallahamaashobirin
.....sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim)

Sekilas Tentang Hadits :

Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh:

· Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa’iq, Bab Al-Mu’min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.

· Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu hadits no 18455, 18360, 23406 & 23412.

· Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq, Bab Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777.

Makna Hadits Secara Umum

Setiap mukmin digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’. Pesona berpangkal dari adanya positif thinking seorang mukmin. Ketika mendapatkan kebaikan, ia refleksikan dalam bentuk syukur terhadap Allah swt. Karena ia paham, hal tersebut merupakan anugerah Allah. Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya. Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, ia akan bersabar. Karena ia yakin, hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya yang ada rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah swt.

Urgensi Kesabaran

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran setengah keimanan. Sabar memiliki kaitan erat dengan keimanan: seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menggambarkan ciri dan keutamaan orang beriman sebagaimana hadits di atas.

Makna Sabar

Sabar merupakan istilah dari bahasa Arab dan sudah menjadi istilah bahasa Indonesia. Asal katanya adalah “shabara”, yang membentuk infinitif (masdar) menjadi “shabran“. Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Perintah bersabar pada ayat di atas adalah untuk menahan diri dari keingingan ‘keluar’ dari komunitas orang-orang yang menyeru Rabnya serta selalu mengharap keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah swt.

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Al-Khawas, “Sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidakmampuan. Rasulullah saw. memerintahkan umatnya untuk sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan senjata (perang).”

Sabar Sebagaimana Digambarkan Dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri, terdapat 103 kali disebut dalam Al-Qur’an, baik berbentuk isim maupun fi’ilnya. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah swt.

1. Sabar merupakan perintah Allah. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153). Ayat-ayat yang serupa Ali Imran: 200, An-Nahl: 127, Al-Anfal: 46, Yunus: 109, Hud: 115.

2. Larangan isti’jal (tergesa-gesa). “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka…” (Al-Ahqaf: 35)

3. Pujian Allah bagi orang-orang yang sabar: “…dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqarah: 177)

4. Allah akan mencintai orang-orang yang sabar. “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

5. Kebersamaan Allah dengan orang-orang yang sabar. Artinya Allah senantiasa akan menyertai hamba-hamba-Nya yang sabar. “Dan bersabarlah kamu, karena sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)

6. Mendapatkan pahala surga dari Allah. (Ar-Ra’d: 23 – 24)

Kesabaran Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits

Sebagaimana dalam Al-Qur’an, dalam hadits banyak sekali sabda Rasulullah yang menggambarkan kesabaran. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang bertemakan sabar. Secara garis besar:

1. Kesabaran merupakan “dhiya’ ” (cahaya yang amat terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah mengungkapkan, “…dan kesabaran merupakan cahaya yang terang…” (HR. Muslim)

2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan dan dilatih secara optimal. Rasulullah pernah menggambarkan: “…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…” (HR. Bukhari)

3. Kesabaran merupakan anugerah Allah yang paling baik. Rasulullah mengatakan, “…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih)

4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang mukmin, sebagaimana hadits yang terdapat pada muqadimah; “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR. Muslim)

5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku gantikan surga baginya’.” (HR. Bukhari)

6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas’ud dalam sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan bin Mas’ud berkata”Seakan-akan aku memandang Rasulullah saw. menceritakan salah seorang nabi, yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah, kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya berkata, ‘Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari)

7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat. Rasulullah pernah menggambarkan dalam sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah.” (HR. Bukhari)

8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullan saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut.” (HR. Bukhari & Muslim)

9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah saw. mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‘Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku.” (HR. Bukhari Muslim)

Bentuk-Bentuk Kesabaran

Para ulama membagi kesabaran menjadi tiga:

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas, seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad.

2. Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, dan memandang sesuatu yang haram.

3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta dan kehilangan orang yang dicintai.

Kiat-kiat Untuk Meningkatkan Kesabaran

Ketidaksabaran (baca; isti’jal) merupakan salah satu penyakit hati, yang harus diterapi sejak dini. Karena hal ini memilki dampak negatif pada amal. Seperti hasil yang tidak maksimal, terjerumus kedalam kemaksiatan, enggan melaksanakan ibadah. Oleh karena itulah, diperlukan beberapa kiat guna meningkatkan kesabaran. Di antaranya:

1. Mengikhlaskan niat kepada Allah swt.

2. Memperbanyak tilawah (membaca) Al-Qur’an, baik pada pagi, siang, sore ataupun malam hari. Akan lebih optimal lagi manakala bacaan tersebut disertai perenungan dan pentadaburan.

3. Memperbanyak puasa sunnah. Puasa merupakan ibadah yang memang secara khusus dapat melatih kesabaran.

4. Mujahadatun nafs, yaitu sebuah usaha yang dilakukan insan untuk berusaha secara giat untuk mengalahkan nafsu yang cenderung suka pada hal-hal negatif, seperti malas, marah, dan kikir.

5. Mengingat-ingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal secara sempurna.

6. Perlu mengadakan latihan-latihan sabar secara pribadi. Seperti ketika sedang sendiri dalam rumah, hendaklah dilatih untuk beramal ibadah dari pada menyaksikan televisi, misalnya. Kemudian melatih diri untuk menyisihkan sebagian rezeki untuk infaq fi sabilillah.

7. Membaca-baca kisah-kisah kesabaran para sahabat, tabi’in maupun tokoh-tokoh Islam lainnya.